HANYA MIMPI!!!
“Vie, awas loch...mesti datang !”
Aku tersentak. “ Siapa itu?” tanya hatiku. Aku menoleh ke arah suara itu. Oh, ternyata kak Rima, dia sepupuku sekaligus tetanggaku. Dia mengingatkanku agar aku tidak lupa untuk menghadiri acara pernikahannya. Ya, dia akan melangsungkan pernikahan esok lusa dengan kekasihnya yang asli orang Jawa.
“ Ok, sippp bos...” jawabku.
“ Oh ya, ajak si Redi ok?” tambahnya.
“ Hemmmm, baik akan aku usahakan,” balasku mantap.
Redi, ya dia kekasihku sejak aku duduk di SMA. Aku sudah menjalin hubungan dengannya hampir 4 tahun. Dia sekarang kuliah di salah satu Universitas Bandung. Dia asli orang Ciamis selatan, tepatnya Parigi.
Aku Evi Ratna Yuningsih - pangggil Evi -. Aku seorang mahasiswi di salah satu Universitas Ciamis. Aku juga tinggal di Ciamis sama seperti Redi kekasihku. Namun jarak rumahku dengannya dapat di katakan jauh. Sekitar 3 jam jarak yang harus di tempuhku menuju rumahnya. Begitu juga sebaliknya.
Aku beranjak untuk berangkat menuju kampus. Hari ini aku akan di sibukkan dengan acara yang di selenggarakan oleh kampusku. Aku menjadi panitia dalam acara tersebut dan aku menduduki posisi yang cukup penting. Sehingga di pastikan, aku akan menginap di kampusku selama acara tersebut berlangsung. Acara tersebut memakan waktu satu minggu lebih. Namun aku akan meminta izin satu hari untuk menghadiri acara pernikahan sepupuku kak Rima.
Aku berpamitan kepada keluargaku dan meminta antar kepada adikku. Agar aku tidak lupa, aku segera memberitahukan Redi tentang apa yang kak Rima katakan kepadaku.
***
Satu hari berlalu. Badanku terasa pegal seakan-akan di injak-injak gajah. Mataku sudah tak sabar untuk segera aku pejamkan. Ketika aku merebahkan badanku di tempat tidur, tiba-tiba aku memikirkan sesuatu hal yang mengganjal hatiku. “Apa ya?” pikirku bingung. Astagfirullah! Aku lupa kalau Redi belum membalas sms-ku, sedangkan acaranya akan di langsungkan esok hari. Aku raih handphoneku dan segera menghubunginya.
“ Assalamu’alaikum,” sapaku.
“ Wa’alaikumsalam,” balasnya.
“ Kenapa ga balas sms-ku?” tanyaku sedikit memaksa.
“ Maaf yang, kemarin a lagi ada acara sampai sore, eh pas malam ketiduran,” jawabnya dengan lembut.
Aku terima alasannya. “ Gimana a? Bisa ga?” tambahku yang tak sabar menanti jawabannya. Aku mengharapkan dia mengiyakan ajakanku.
“ Hemmmmm, gimana ya yang?” Pikirnya seolah bingung. Idih kenapa dia harus berpikir sih? Tinggal jawab iya aja apa susahnya? Hatiku berbicara tanpa aku ungkapkan padanya.
“ Ya yang bisa, lagi gak sibuk kok,” tambahnya.
Yeah...Akhirnya dia mau juga menerima ajakan ku. “ Ok atuh a, besok jemput aku di kuliahan pagi-pagi, biar gak ketinggalan acaranya,” ujarku begitu senang. Tentu saja, secara sudah lumayan lama juga aku gak ketemu dia. Kata Bang Rhoma Irama,” Bila kamu di sisiku hati rasa syahdu...Satu hari tak bertemu hati rasa rindu.” Pas banget buat perasaanku saat ini.
“ Kok di kuliahan sich?” tanyanya kebingungan.
“ Kan aku lagi ada acara, terus nginep dech,” jelasku.
Dia mengiyakannya. “ Oh, cepet tidur atuh...Pasti cape,” ujarnya.
“ Iya a, met tidur a, mimpiin aku ya???” manjaku. Aku tutup teleponku dan ku simpan di samping tempat tidurku. Aku rebahkan badanku yang seharian hanya duduk dan mengerjakan hal-hal yang menguras tenagaku.
***
Aku sedang berkemas-kemas, tiba-tiba ponselku berdering. Oh ternyata Redi mengirim pesan kepadaku agar aku segera bersiap-siap dan menunggu di depan kampus. Ya, tentunya saat ini aku sudah siap. Izin sudah aku dapatkan, hanya sedikit barang-barang untuk di bawa pulang.
Akhirnya motor jupiter MX warna hitam dengan polet merah tiba. Dia tampak kelelahan dengan perjalanannya yang cukup panjang. Memang jarak Bandung Ciamis tidak bisa di katakan dekat. Di tambah lagi dia berangkat pagi sekali agar tiba di rumahku sebelum acara di mulai.
***
Suasana sudah mulai ramai, dan tampaknya acara akan segera di mulai. Aku dan Redi menemui ayah dan ibuku. Kami pun menyimpan barang-barang kami di kamarku dan segera ikut bergabung dalam acara tersebut.
Satu demi satu acara pernikahan itu di langsungkan. Dan acaranya pun berjalan lancar serta khidmat sampai selesai.
Aku kenalkan Redi pada keluargaku yang lainnya. Karena sejak tadi pagi, aku tak sempat memperkenalkannya pada semua. Dia begitu canggung saat itu. Aku berusaha untuk membuatnya lebih tenang, agar dia juga tidak jadi salah tingkah. Akhirnya dia mulai terbiasa dengan semuanya.
***
Adzan subuh berkumandang. Aku segera bangun dan wudlu di teruskan salat subuh. Badan terasa pegal sekali. Rasanya, ingin aku peluk bantalku sepuasnya. Tapi, apa boleh buat, aku harus segera bersiap-siap untuk kembali ke kampus. Redi kelihatannya sudah bangun dan lekas pergi mengambil air wudlu untuk salat berjama’ah.
Aku segera berkemas-kemas setelahnya mandi. Matahari sudah mulai menyapa dunia dengan sinarnya yang hangat. Redi mengajakku untuk berangkat pagi sekali. Tentunya aku menyetujui apa yang di katakan dia.
“ jam tujuhan ya a?” pintaku.
Dia kelihatan sedikit menolak. “ Nggak kesiangan gito ke kampus?”
“ Nggak a, soalnya acara di kampus juga mulai jam delapanan,” bantahku.
Dia hanya pasrah dengan ajakanku. “Hemmmm ya atuh,” agak lemas.
“ A ibak sana!” ujarku. “ Heg cepet kemas-kemas,” tambahku
***
Aku dan Redi segera berpamitan kepada semua keluargaku, termasuk ayah ibu dan adik-adikku. Terlebih dahulu aku menemui kak Rima untuk meminta maaf karena tidak bisa membantu terlalu banyak.
Aku beranjak menemui yang lainnya. Namun, ketika ku langkahkan kakiku, tiba-tiba aku mendengar sebuah perbincangan yang mengusik hatiku.
“ Si Redi itu bener pacarnya Evi? Aneh ya? Padahal kan banyak teman-temannya yang jauh lebih baik dari dia?Aku gak begitu suka sama pacarnya itu,” ujar seseorang.
“ Napa gitu? Ya sih, kemarin juga pas di kenalin, semua keluarga yang lainnya pun gak begitu suka dengan pilihannya itu. Tapi bisa ya orang tuanya pada suka?” balas yang lain.
Mereka semakin asyik dengan perbincangannya. “ Gak tau juga sih.... Tapi ya masih pacaran ini toh, biarin aja, lagian itu pilihannya, ” tambah yang lainnya.
Aku coba melanjutkan langkahku walau hati terasa berat setelah mendengar perbincangan itu. Aku coba menghiasi wajahku dengan senyuman manis seperti biasanya. “ Permisi,” sapaku.
“ Eh Evi, ada apa nih pagi-pagi uda cantik?” jawab mereka dengan lirih nada yang terkejut. Ya mungkin mereka terkejut dengan kedatanganku saat ini. Untung saja, Redi tidak aku ajak ke sini, aku suruh dia berpamitan pada anggota keluargaku lainnya yang berada di ruang lain.
“ Nggak ada apa-apa, cuma mau pamitan soalnya mau berangkat lagi ke kampus,” ujarku.
“ Oh ya atuh, hati-hati di jalan,” balas mereka sedikit terbata.
***
Akhirnya aku sampai di depan kampusku. Malas juga harus kembali ke sini dengan pekerjaan yang begitu banyak di depan mataku. Tapi, aku masih tetap merasa aneh, kenapa mereka mengatakan hal seperti itu? Apa yang salah dengan pilihanku?
“ Yang?” tanya Redi. “ Kok ngelamun sih? Gak mau masuk gitu?”
Aku sedikit kaget. “ Hah, ya...apa?” balasku. “ Ya mau atuh, masa nggak. Mau berangkat sekarang a?” tambahku lagi.
“ Tahun depan, ya sekarang atuh,” dengan nada yang sedikit menyindir.
Aku tertawa. “ Idih, biasa aja kali jawabnya,”
“ Habisnya yang gitu,” bantahnya.
“ Ya atuh maaf, berangkat gih, tar ke siangan nyampe nya,” sedikit mengusir.
Dia menjawil hidungku. “ Ya cinta, a berangkat dulu. Assalamu’alaikum!”
“ Wa’alaikum salam, hati-hati a!” ujarku.
***
Satu minggu telah berlalu, dan acara yang aku jalani juga tinggal beberapa jam lagi. Betapa senang rasanya mengingat bahwa sebentar lagi badanku akan beristirahat dari semua kegiatan yang menyita waktuku. Namun, tetap saja ada sesuatu yang masih mengganjal hatiku. Kenapa hal itu terjadi? Kenapa bisa seperti itu? Kenapa dia tidak mendapat restu dari semua orang? Entahlah. . . Yang penting saat ini aku merasa bahagia!
“ Woyyyy...Ngelamun aja loch!” tegur seseorang. Aku cukup kaget mendengarnya. Oh ternyata dia Rafli, teman kuliahku. Dia juga pernah menyatakan cinta kepada ku, namun aku menolaknya. Tentu saja, secara aku sudah punya kekasih yang aku cintai. Aku juga bukan type orang yang bisa menduakan kekasihnya begitu saja, walaupun dia jauh di sana. Kata merpati band,“ Tak selamanya selingkuh itu indah “, betul...betul...betul. Bulsyit selingkuh itu menyenangkan! Cape malah menurutku! Harus membagi waktu antara yang satu dan yang lainnya.
“ Ono opo?” balasku. “ Ngagetin aja kerjaanmu itu,” tambahku dengan nada yang agak naik.
“ nggak, ,cuma...liat kamu dari tadi ngelamun aja... Kadang senyum-senyum sendiri, kadang mengerutkan dahimu kayak orang kebingungan, napa sih?” tanyanya.
Aku tersenyum. “ Gak apa-apa, cuma seneng aja sebentar lagi mau pulang...Huh.....cape kerja mulu!”
“ Terus, napa tadi ngerutin dahi? Mikirin cowok ganteng di depan kamu ya? Tenang aja, gak bakalan kemana-mana kok,ha...ha...ha...” candanya.
“ PeDe gile Looooo....” balasku tak setuju apa yang di katakannya.
***
“ Huh gak ada angkot lagi!” gerutuku. Sudah hampir satu jam aku menunggu mobil jemputan banyak orang ini. Tapi, gak muncul juga dari tadi. Ada sesekali, pasti penuh sangat. Orang rumah juga pada gak bisa jemput lagi, masa aku musti nginep lagi di sini? Ich...gak banget deh!!!
Dalam masa menunggu angkot itu, tiba-tiba Rafli menghampiriku dengan motor tigernya. “ Lagi ngapain nenk uda jam segini masih berdiri aja di situ?” oloknya. “Mau ikut sama abang gak? Ha...ha...ha...” tawanya lebar.
“ Nggak usahlah, ngerepotin,” bantahku. “Lagian juga rumah kamu berlawanan arah sama rumahku,” tambahku lagi.
“ Cepetlah naik! Mumpung lagi baik, dari pada nungguin angkot yang gak tentu kedatangannya,” ujarnya.
Iya juga sih, aku butuh banget tumpangan ini. Dari pada kemaleman, sendirian pula. “ Ok deh bos,” balasku dengan sedikit ragu.
***
Akhirnya aku dan Rafli tiba di rumahku. Aku ajak Rafli untuk mampir dulu di rumahku. Ya sekalian sebagai tanda terima kasihku kepadanya. “ Mampir dulu atuh, minum-minum atau apa...ya sekalian balas budiku karena kamu uda nganterinku sampai ke rumah,” ajakku. “ Perjalananmu juga akan sedikit lama, secara rumahmu jauh dari sini,” tambahku.
“ Ya, lagian juga mau minta minum, haus nih...” balasnya.
Aku dan dia masuk seraya bersalaman dengan semua keluargaku. Betapa nyamannya dapat merebahkan kembali badanku di istanaku sendiri. Rafli juga tak begitu lama di rumahku, cuma basa basi sedikit terus pulang. Jadi aku tak harus menunggu lama lagi untuk memeluk soulmateku ketika tidur.
“ Ayah lebih suka dia dari pada Redi kekasihmu,” ujar ayah.
Aku sedikit terkejut. “ Kenapa kata-kata itu terlontar dari mulut ayah? Dan kenapa kata-kata ayah tak ubahnya perkataan para tetangga dan keluargaku yang lain? Salahkah aku memilihnya?” tanya hatiku sendiri. Entahlah... Aku tak akan menganggapnya serius. Seiring berjalannya waktu, pasti semua akan terselesaikan.
***
Pagi yang cerah diikuti irama burung-burung yang berkicau dan angin sepoi-sepoi. “Namun...kenapa Redi sejak tadi malam tak menghubungiku? Gak biasanya kayak gini?” Aku terus berbicara sendiri.
Aku hubungi dia. “Aduh...kok gak di angkat? Apa masih tidur ya?” prasangkaku baik. Ku hubungi beberapa kali dan akhirnya dia angkat. “ Assalamu’alaikum, a uda bangun? Kok gak ngehubungiku sih dari tadi malam?” tanyaku tak henti.
“ Kumsalam, uda...Lagi males!” balasnya dengan nada sedikit kesal. Aku terkejut, kenapa dia bicara seperti itu?
“ Kok gitu sih a? Marah ya? Kenapa?” sedikit memelas.
“ Pikir aja sama Lo napa gw kayak gini. Udahlah, gak usah hubungi gw lagi!” Perkataan itu mengejutkanku.
Kami bertengkar hebat. Sedahsyat tsunami yang melanda di Aceh. Bahkan lebih dari itu, Lebih sekali. Dan akhirnya aku tahu apa penyebab kemarahannya. Ternyata dia marah karena kemarin aku di antarkan oleh temanku Rafli, yang sekaligus seseorang yang pernah mencintaiku. Memang dia sudah tahu tentang perasaan Rafli terhadapku. Makanya dia sangat marah akan hal itu. Dia sudah di butakan oleh kecemburuannya. Mungkin, ada teman kami yang memberitahunya.
Aku menangis seketika. Aku sakit hati atas ucapannya yang sangat kasar tehadapku, bahkan tidak mau menerima sedikitpun penjelasanku. Apa salah aku di antarkan temanku sendiri? Walau aku tahu dia pernah mencintaiku? Entahlah...Aku sudah lelah berperang mulut dengannya. Lebih baik aku tenangkan diriku sendiri agar dapat berpikir lebih jernih menghadapinya.
Aku tutup teleponku dan ku raih laptopku. Aku lebih memilih memainkan laptopku dari pada harus beradu pemikiran dengannya. Aku buka facebook ku – jejaring sosial yang ngetren saat ini-. Namun, sesuatu hal menyayat hatiku, ketika ku lihat berandaku. Dia...Dia sudah tak mengakui bahwa aku adalah kekasihnya! Dan yang lebih membuatku terluka, dia mengatakan kepada temannya bahwa dia masih mencintai mantan kekasihnya sampai saat ini! Apa sih maksudnya? Sengajakah dia?
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula! Sepertinya kata-kata ini memang pantas bagiku. Kenapa tidak? Sudah pilihanku tak di restui keluargaku, bahkan ayahku, sekarang kekasihku lebih menghargai sakit hatinya karena ketidak sengajaanku. Mantap sudah penderitaanku saat ini.
Aku mencoba bersabar dan bersabar. Namun tetap, hatiku hancur berkeping-keping dan tak mampu aku sembunyikan. Aku segera mengambil air wudlu untuk salat sunat duha. Mungkin salat dapat menenangkan sedikit pikiranku.
***
Aku sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Memang benar, salat dapat menenangkan pikiran ataupun hati yang sedang kacau balau. Setelah salat duha tadi, aku menitipkan do’a. “ Ya Allah... Memang benar, aku telah meninggalkanmu. Bukan lebih dekat denganmu, tapi aku lebih jauh denganmu. Ya Allah... Jika Redi memang jodohku, dekatkanlah dia denganku. Namun, jika dia bukan jodohku, maka dekatkanlah aku dengan jodohku dan berilah dia jodoh yang lebih baik dariku. Ya Allah... Jika apa yang di katakan ayah dan orang lain itu yang terbaik, kuatkanlah hatiku untuk menerimanya. Dan bimbinglah aku ke jalanmu Ya Allah...”
Aku mencoba memejamkan mataku untuk melupakan apa yang baru saja terjadi denganku. Namun, ketika aku memejamkan mataku, aku mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut seseorang yang tak asing bagiku. “ Evi...Evi...Cepet bangun, sudah subuh!” perintahnya tegas.
Aku sedikit terkejut dengan kata-kata itu. Ketika aku membukakan mata, ternyata seseorang yang telah melahirkanku berdiri di samping tempat tidurku seraya membangunkanku secara paksa. Aku tertegun. “ Kenapa ibuku berkata seperti itu?” tanya hatiku. Ku lihat jam dan ternyata......Hah jam 05.00 subuh? Bukankah tadi aku sudah salat duha?
Akhirnya aku sadar, bahwa apa yang ku alami itu hanya sebuah mimpi. Mimpi yang sangat menguras , tenaga, pikiran dan perasaanku. Aku tersenyum sendiri, seperti orang yang baru merasakan jatuh cinta. Namun bukan cinta, melainkan perasaan bahagia yang tak mampu aku ungkapkan.
“ Eh malah senyam-senyum, cepetan salat!” bentak ibuku.
“ Ya bu, mau ini juga,” balasku sedikit membentak.
Ibu pergi meninggalkanku dan aku masih tetap tersenyum memikirkan kembali mimpiku malam ini. “Ya Allah... Terima kasih Engkau masih mengingatkanku agar aku tetap dan selalu ingat pada-Mu,” syukurku pada Sang Ilahi. Aku lekas mengambil air wudlu dan melaksanakan salat subuh dengan rasa syukur yang tak henti-hentinya.
Ciamis, 17 September 2011